Suporter sepakbola merupakan kerumunan di mana kerumunan tersebut diartikan sebagai sejumlah orang yang berada pada tempat yang sama, adakalanya tidak saling mengenal, dan memiliki sifat yang peka terhadap stimulus (rangsangan) yang datang dari luar.[1] Suporter sepakbola meski menonton pertandingan sepakbola di tempat dan mendukung tim yang sama belum tentu mereka saling mengenal satu sama lain namun meski demikian mereka sangat peka terhadap stimulus yang datang dari luar seperti ketika tim mereka nyaris mencetak gol atau ketika gol tercipta secara tidak langsung tanpa dikordinir mereka langsung menunjukkan ekspresi yang sama yakni berteriak dan bersorak. Bahkan ketika terjadi kerusuhan pun meski tidak saling mengenal tapi atas nama solidaritas suporter pendukung kesebelasan yang sama, otomatis mereka langsung membantu rekan-rekannya ketika kerusuhan terjadi.
Perilaku suporter sepakbola bisa dikatakan sebagai perilaku sosial di mana tingkah laku suporter yang berlangsung dalam lingkungan menimbulkan akibat atau perubahan terhadap tingkah laku berikutnya. Selain itu Geroge Homans (Sosiolog) juga menjelaskan bahwa perilaku sosial adalah di mana aktivitas yang dilakukan sekurang-kurangnya dua orang bisa saling mempengaruhi satu sama lain. Perilaku suporter baik itu perilaku yang bersifat negatif maupun positif tentunya berpengaruh terhadap lingkungannya dan perilaku suporter selanjutnya.
Salah satu perilaku negatif suporter yang dampaknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat adalah perilaku anarkis seperti tindak kekerasan/tawuran antar suporter, pengrusakan fasilitas umum dan melakukan tindakan yang mengarah ke tindak kriminal seperti penjarahan di mana perilaku mereka ini tidak hanya merugikan mereka dan klub namun juga berdampak pada masyarakat dengan menyisakan rasa takut/cemas masyarakat terhadap suporter sepakbola hingga masyarakatpun memunculkan stigma terhadap mereka, selain itu kerugian materil akibat kerusuhan suporter dan juga pengrusakan fasilitas umum tentunya menjadi hal yang sangat disayangkan. Pada akhirnya maka tidak heran jika perilaku suporter sepakbola ini dianggap sebagai wujud masalah sosial karena dampak yang ditimbulkannya baik itu yang berupa fisik seperti pengrusakan fasilitas umum dan non fisik yakni rasa takut/cemas masyarakat ketika bertemu suporter sepakbola.
Sebagai perilaku sosial maka tak heran bila yang dilakukan oleh suporter sepakbola berdampak pada masyarakat dan mengundang perhatian media (baik meda cetak maupun elektronik). Dalam beberapa kajian ilmiah dan ulasan di media terkadang perilaku suporter sepakbola dianggap sebagai perilaku menyimpang yang susah dihilangkan. Karena beberapa hal itulah akhirnya suporter sepakbola mendapat stigma dari masyarakat. Lisa A Lewis dalam bukunya yang berjudul Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media, menyatakan bahwa, “The popular press, as well, has stigmatized fandom by emphasing danger, abnormality, and sillines.”[2] Merujuk apa yang dikatakan oleh Lisa, nampak jelas bahwa stigma yang diperoleh suporter sepakbola juga tak terlepas dari pengaruh media yang selalu memberitakan suporter sepakbola dalam persepektif negatif yakni sebagai sesuatu yang berbahaya, menyimpang, tidak normal, anarkis, dan lainnya.
Penilaian negatif tentang suporter sepakbola seakan tidak pernah bisa hilang bahkan suporter sepakbola telah mendapat label sebagai sesuatu yang negatif di mata masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa labelling adalah sesuatu yang sangat merugikan ‘subjek’ di mana subjek tidak bisa membantah atau menyanggah atas label yang diperolehnya. Dalam hal ini kita bisa melihat suporter sepakbola khususnya Bonek yang telah mendapat label dari masyarakat atas segala perilaku negatif yang pernah mereka (oknum Bonek) lakukan seperti menjarah, melakukan tindak kekerasan, tidak bermodal, pengrusakan fasilitas umum, menyanyikan lagu yang bernuansa rasis dan provokatif, dan hal lainnya di mana pada akhirnya Bonek mendapat label sebagai kelompok suporter yang anarkis dan bahkan perilaku anarkis Bonek juga dianggap sebagai masalah sosial karena berbagai dampak yang ditimbulkan akibat oleh Bonek seperti kerusakan fisik pada fasilitas umum yang ada di masyarakat dan kerusakan non fisik seperti rasa cemas dan trauma masyarakat terhadap Bonek. Berkaca pada persepektif disorganisasi sosial, perilaku anarkis suporter sepakbola ini memang merupakan sebuah masalah sosial. Perspektif disorganisasi sosial menyebutkan bahwa suatu sistem adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindakan dan aktivitas.[3] Jadi sangatlah jelas, merujuk terhadap persepektif ini, perilaku anarkis suporter sepakbola merupakan sebuah pelanggaran terhadap sistem yang ada di dalam masyarakat sehingga terjadilah kondisi disorganisasi sosial.
Adanya stigma terhadap Bonek sejatinya tidak terlepas dari peran media yang begitu bersemangatnya ketika mengulas sesuatu yang buruk, maka tak heran jika sekarang muncul sebuah ungkapan “Bad News is a Good News” di mana maksud dari ungkapan tersebut adalah sesuatu atau berita yang buruk adalah “berita yang baik”. Ini tak terlepas dari kepentingan media yang mengejar porfit semata di mana objektivitas dalam pemberitaan pun tidak lagi menjadi hal yang sangat penting. Jika kita melihat, bahwa tidak sedikit pula perilaku positif dan sportif yang dilakukan oleh Bonek baik ketika pertandingan Persebaya maupun di luar pertandingan Persebaya. Seperti ketika dalam laga Liga Super Indonesia tahun 2009-2010 di mana saat itu Persebaya kalah 1-0 oleh Persik dan seri 1-1 dengan Persija (yang notabene seteru abadi Persebaya dan Bonek) di Stadion Tambakasari. Bonek mampu menunjukkan sportivitasnya dan tidak melampiaskan kekecewaannya dengan berperilaku anarkis baik di dalam maupun di luar lapangan. Selain itu Bonek juga sering melakukan kegiatan positif ketika Persebaya tidak bertanding seperti aksi donor darah saat merayakan ulang tahun Persebaya, mengumpulkan dana atau bantuan untuk korban bencana dan kegiatan lainnya yang memperabaiki citra Bonek di mata masyarakat dan mempererat hubungan antar sesama Bonek. Namun beberapa hal tersebut tidak pernah diulas media, jikapun diulas beritanya tidak sedetil perilaku negatif Bonek.
Masih adanya stigma terhadap suporter sepakbola khususnya Bonek selaku suporter Persebaya baik dari media maupun masyarakat, tentunya menjadi hambatan dan tantangan tersendiri bagi para perempuan yang juga ingin menjadi suporter Persebaya. Meski demikian ternyata hal ini tak menjadi hambatan bagi perempuan yang datang ke stadion atau menjadi suporter, ini bisa dilihat mulai banyaknya perempuan yang berdatangan ke stadion dan menjadi suporter seperti yang dilakukan oleh para perempuan yang menjadi suporter Persebaya atau yang dikenal dengan Bonita.
Sebenarnya perilaku suporter sepakbola (Bonek) tidak hanya negatif atau perilaku anarkis saja, ada perilaku positif yang ditunjukkan oleh suporter sepakbola. Perilaku ini bisanya mereka lakukan baik ketika tim kesayangan mereka bertanding maupun ketika tim mereka tidak bertanding. Ketika tim-nya bertanding misalnya, suporter sepakbola selalu datang ke stadion dan memberikan suport terhadap pemain di lapangan melalui nyanyian-nyanyian yang mampu memompa semangat pemain. Suporter juga menunjukkan kreativitas dan semangat mereka melalui gerakan-gerakan yang kompak dan juga menjadi hiburan tersendiri bagi penonton di lapangan. Ternyata keberadaan suporter sepakbola tidak hanya ada di saat tim mereka bertanding, ketika tim mereka tidak bertanding pun suporter sepakbola mampu mengadakan kegiatan-kegiatan positif di luar lapangan seperti bakti sosial, aksi sosial ketika merayakan ulang tahun klub yang didukung dan kegiatan positif lainnya yang mampu mencitrakan atau membuat mereka diterima dan lebih dekat dengan masyarakat.
Bonita sebagai suporter sepakbola tentunya juga memiliki perilaku yang sama layaknya suporter sepakbola pada umumnya/Bonek seperti yang telah dijelaskan di atas. Fery Istianto dalam skripsinya juga menjelaskan bahwa perilaku suporter perempuan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan suporter laki-laki. Tidak ada kegiatan suporter yang tidak bisa dikerjakan oleh suporter perempuan. Mulai dari berorganisasi, menjadi pengurus, ikut tour, naik truk, tidur di stasiun, bernyanyi-nyanyi di stadion, mencoreng-coreng muka, menabuh genderang, menyambut kehadiran suporter tamu hingga dini hari, dan sebagainya bisa juga dilakukan oleh suporter perempuan.[4] Namun sebagai kelompok suporter perempuan tentunya mereka memiliki sedikit perbedaan dengan suporter sepakbola yakni terkait perilaku negatif atau perilaku anarkisme suporter di mana mereka berusaha untuk tidak terlibat dalam perilaku anarkisme suporter. Ini tak terlepas dari konstruksi gender yang sudah melekat di masyarakat di mana selama ini perempuan dipandang sebagai orang yang lemah lembut, halus, anti kekerasan, keibuan, dan lainnya.[5] Basis sosio-ekonomi seperti tingkat perekonomian dan pendidikan tentu juga menjadi faktor penting membentuk perilaku suporter perempuan Bonita untuk tidak berperilaku anarkis jika mereka banyak berasal dari kalangan menengah dan berpendidikan namun jika sebaliknya belum tentu juga mereka akan berperilaku anarkis mengingat konstruksi gender yang sudah melekat dalam perempuan yang menjadi Bonita atau suporter. Beberapa hal inilah yang mempengaruhi pola perilaku perempuan ketika menjadi suporter khususnya untuk menjauh dari segala tindak anarkisme di mana meski sebagai suporter mereka juga masih menunjukkan sifat atau karakter perempuan yang sudah melekat pada diri mereka yakni sebagai sosok yang lemah lembut, anti kekerasan, dan lainnya.
Perilaku positif suporter ini tentunya juga berpengaruh terhadap lingkungannya dan perilaku mereka selanjutnya baik itu di kalangan sesama suporter maupun di masyarakat. Pada lingkungan suporter misalanya, di mana terjalinnya hubungan yang lebih dekat antar mereka baik ketika berada di dalam lapangan untuk mendukung Persebaya maupun di luar lapangan untuk terlibat dalam beberapa kegiatan positif yang telah dilakukan. Selain itu di mata masyarakat, setidaknya citra mereka bisa berubah menjadi lebih baik seiring diadakannya kegiatan positif yang dilakukan oleh suporter sepakbola. Adanya perubahan ini tentunya akan mempengaruhi perilaku suporter selanjutnya, di mana mereka akan berusaha untuk tetap atau lebih baik lagi dalam berperilaku positif.
Daftar Bacaan:
Istianto, Feri, 2005. Perempuan Suporter Sepakbola (Studi Tentang Motivasi dan Kesadaran Gender Suporter Perempuan Slemanona). Yogyakarta: Fisipol UGM
Lewis, Lisa A, 1992. Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media. London: Routledge
Lewis, Lisa A, 1992. Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media. London: Routledge
Pinem, Imelda L. 2008. Materi Kuliah Isu Gender Dalam Keluarga. Yogyakarta: Fisipol UGM
Soeprapto, 2010. Materi Kuliah Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Soeteomo, 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] Drs. Soeprapto, SU. Materi Kuliah Sosiologi Hukum (Yogyakarta, 2010)
[2] Lisa A Lewis, Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media (London, 1992) hal. 1
[3] Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, (Yogyakarta, 2008) hal.83
[4] Fery Istianto, Perempuan Suporter Sepakbola, (Yogyakarta, 2005) hal.55
[5] Imelda Espinem, Kuliah Isu Gender Dalam Keluarga. (Yogyakarta, 2008) hal. 1