About Me

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
banyak omong banyak kerja banyak baca banyak pengen tahu pokoknya banyak deh

Selasa, 06 Desember 2011

Negeri Para Pemimpi

Bukanlah sebuah mimpi
Ini adalah sebuah negeri yang penuh fantasi dan mimpi. Di mana semua rakyat di negeri ini berhak bermimpi dan berfantasi. Tidak ada larangan mengenai hal tersebut karena ini adalah negeri para pemimpi yang sangat liberal dan demokratis. 

Semua rakyat di negeri ini memiliki mimpi yang sama, yakni sebuah negeri yang kaya raya dan dipimpin oleh pemimpin yang adil, arif, bijaksana dan pro rakyat. Mengapa rakyat memimpikan hal tersebut? Karena rakyat meyakini bahwa semua itu hanya ada di dalam mimpi tidak dalam sebuah kehidupan yang nyata.

Dalam kehidupan nyata, pemimpin negeri mimpi selalu menjadi mimpi buruk para rakyatnya dengan aneka kebijakan mereka yang jauh dari kata mendukung rakyat seperti mahalnya biaya pendidikan, berobat, hingga biaya hidup yang tak mampu digapai oleh rakyat. Belum lagi tingkah laku pejabat yang suka foya-foya dan plesiran ke luar negeri. Korupsi masih merajarela di kalangan elite negeri ini, pengusaha besar banyak yang nunggak pajak bahkan ngemplang pajak, maka tak heran jika kekayaan mereka terus bertambah. Subsisdi untuk rakyat selalu berkurang.

Itulah mimpi buruk yang selalu dialami oleh rakyat ketika mereka berada dalam kehidupan nyata. Ketika pergi dari sebuah kehidupan nyata, rakyat bisa menemukan sebuah negeri yang makmur dan kaya raya. Di mana rakyat tidak terlalu miskin dan bersusah payah dalam kehidupannya, mereka menemukan sebuah pemimpin negeri yang adil, bijaksana, tegas dan pro rakyat. Terdapat sebuah hubungan emosional dan chemistry antara rakyat dengan pemerintah.

Ah namun sial dan sayangnya rakyat hanya bisa menikmati negeri dan mimpi itu dalam beberapa jam saja, karena setelah itu rakyat harus kembali ke sebuah kehidupan yang penuh dengan mimpi buruk.

Rabu, 20 April 2011

Perempuan dan Sepakbola

Suporter Perempuan Pendukung Persebaya (Bonita)

Menurut Richard Giulianoti[1], Sosiolog dari Universitas Aberdeen Skotlandia, anggapan bahwa sepakbola merupakan olahraga laki-laki tak bisa lepas dari sejarah pemainan sepakbola. Menurut Giulianoti, sekolah umum khusus laki-laki (Male Public School) merupakan tempat yang menciptakan aturan permainan sepakbola, dan bahkan mengembangkan organisasi dan kompetisi sepakbola, dari kondisi tersebut, wajar jika sepakbola yang merupakan wilayah publik kemudian didominasi oleh laki-laki.
Meski demikian, perubahan telah terjadi. Di negara-negara dengan kultur sepakbola yang kuat seperti di Inggris, jumlah suporter perempuan selalu bertambah tiap tahunnya. Menurut FA Premier League National Fan Survey yang dilakukan John Williams dari Sir Norman Chester Centre for Football Research[2], “In 1997 about 12% of FA Premier League fans are female. In 2001 this figure rose to 15%.”  Bahkan di beberapa klub seperti Ipswich Town dan Leicester City, perempuan yang menjadi suporter dan membeli tiket terusan lebih dari 20% dari total suporter. Meningkatnya jumlah suporter perempuan di Inggris dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Dalam hal ini John Williams mempunyai penjelasan bahwa meningkatnya jumlah suporter perempuan tak terlepas dari kebijakan dari klub seperti peningkatan fasilitas untuk keluarga (diberikan area khusus untuk keluarga) dan berkuranganya hooliganisme serta kekerasan dalam sepakbola. “There have been active policies by a number of clubs to attract women back to football, such as creche facilities and improved family areas. Also the reduction in incidences of hooliganism and violence have been a factor in this recent growth in female support.”
Klub-klub sepakbola di Inggris menjadikan perempuan dan anak-anaknya sebagai salah satu target pemasaran dengan menyediakan tempat duduk khusus dan meningkatkan fasilitas untuk supporter perempuan (harga khusus, toilet untuk perempuan, dan lain-lain). Hal seperti ini belum dilakukan oleh klub-klub sepakbola di Indonesia. Faktor lainnya adalah berkurangnya kerusuhan dan kekerasan di dalam stadion dengan ditingkatkannya standar keamanan oleh pihak penyelenggara pertandingan. Badan yang berwenang mengurusi sepakbola, mewajibkan panitia pertandingan untuk mencegah terjadinya kerusuhan dengan kewajiban memasang pagar penghalang antara tempat duduk penonton dengan lapangan, pembatas antara suporter dari dua tim yang berbeda, dan penyediaan tenaga keamanan yang memadai. Pertandingan yang diwarnai dengan kerusuhan bisa sebuah klub dapat dihukum denda atau larangan melakukan pertandingan tanpa penonton.
Selain beberapa hal di atas, jika berbicara mengenai perempuan di Inggris yang datang ke stadion maka kita tidak bisa melupakan WAGs (Wives and Girlfriends) yakni istilah untuk istri atau pacar pesepakbola di Inggris. Istilah ini muncul tak terlepas dari mulai banyaknya istri/pacar pesepakbola yang datang ke lapangan untuk menyaksikan dan mendukung suami/pacarnya bertanding. Entah sejak kapan istilah ini mulai muncul namun istilah ini mulai semakin santer ketika piala dunia 2006 di Jerman, di mana saat itu banyak istri/pacar dari pemain Inggris yang datang ke Jerman untuk mendukung suami/pacarnya bertanding.[3] Sayangnya meski mendapat dukungang langsung dari istri/pacarnya justru timnas Inggris gagal meraih prestasi ini tak terlepas dari gaya hidup WAGs yang bermewah-mewahan dan hobby berbelanja, di mana ketika melakukan aktivitas tersebut para WAGs juga ditemani oleh suami/pacarnya otomatis kondisi pemain pun tidak fit 100% karena waktu mereka juga dihabiskan di luar lapangan. Hal inilah yang menurut media-media di Inggris menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan timnas Inggris di piala dunia 2006.
Suporter perempuan di Inggris hampir tak jauh berbeda dengan suporter laki-lakinya dalam memberikan dukungan terhadap tim di lapangan. Bahkan fanatisme mereka bisa mengalahkan suporter laki-laki. Suporter perempuan di Inggris tidak hanya didominasi oleh remaja-remaja seperti halnya di Indonesia namun terdiri dari berbagai kalangan. Seorang kerabat penulis yang pernah singgah di Liverpool selama dua bulan menceritakan bahwa Ibu-ibu di sana (Liverpool) memiliki rasa fanatisme yang sangat tinggi terhadap tim kesayangan mereka seperti Liverpool dan Everton, baik ketika pertandingan maupun dalam kehidupan sehari-hari bayi atau anak-anak mereka selalu dikenakan aksesori dan kaos klub kesayangan mereka mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Namun perilaku suporter perempuan di Inggris paling mencolok ketika terjadi pertandingan, di mana mereka juga berbondong-bondong datang ke lapangan untuk menyaksikan klub kesayangan mereka. Mereka juga ikut menyanyikan lagu-lagu yang memberikan semangat kepada pemain di lapangan.
Apa yang terjadi di Inggris lain halnya dengan di Indonesia, meski fasilitas di stadion untuk suporter perempuan belum terlalu memadai seperti tiket, kursi, toilet, dan lainnya yang jauh dari kata memuaskan namun antusiasme perempuan yang datang ke stadion tidak kalah dengan perempuan-perempuan di Inggris. Di Indonesia tidak ada perbedaan fasilitas antara suporter perempuan dengan laki-laki ketika berada di dalam stadion, yang membedakan hanya kelas tiket yang mereka beli yakni ekonomi dan VIP. Selain itu jika tingkat anarkisme di Inggris yang menurun dan menjadi faktor pendorong banyaknya perempuan datang ke stadion, hal ini justru berbeda dengan fenomena suporter perempuan di Indonesia khususnya suporter perempuan Bonita. Seperti kita ketahui bahwa anarkisme dalam sepakbola Indonesia masih kerap saja terjadi dan tidak pernah berkurang. Salah satu suporter sepakbola di Indonesia yang identik dengan perilaku anarkisme adalah Bonek, namun meski sering terjadi anarkisme yang dilakukan Bonek maupun suporter lainnya toh suporter perempuan seperti Bonita tetap saja ada dan jumlah mereka terus bertambah. Tentunya ada beberapa faktor yang mendorong para perempuan untuk tetap datang ke lapangan atau menjadi suporter meski anarkisme suporter masih saja terjadi. Faktor pertama adalah fanatisme yang lahir dari suporter perempuan. Rasa bangga dan loyalitas mereka terhadap klub yang didukung menimbulkan rasa fanatisme terhadap mereka para suporter. Hingga akhirnya rasa fanatisme ini membuat mereka juga menjadi bagian dari klub yang mereka dukung dan menunjukkan loyalitasnya terhadap klub yang didukung meski banyak masalah yang terjadi. Peneltian yang dilakukan Sir Norman Chester Centre for Football Research dari University of Leicester pada tahun 2004 yang berjudul “Why Support Football”, menunjukkan bahwa hampir 50% suporter menjadi suporter sepakbola atau mendukung tim kesayangan karena rasa bangga terhadap klub yang mereka dukung.
Faktor kedua adalah solidaritas antar suporter perempuan. Solidaritas diterangkan oleh Durkheim dengan menunjuk pada suatu keadaan hubungan antar individu yang dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.[4] Solidaritas tersebut timbul karena adanya persamaan rasa senasib sebagai pihak minoritas dalam sepakbola yang didominasi oleh laki-laki. Persamaan rasa senasib tersebut merupakan kesadaran kolektif yang merupakan salah satu ciri solidaritas mekanik. Solidaritas mekanik menurut Durkheim didasarkan oleh suatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness conscience), yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama.[5] Sedangkan Ibn Khaldun menjelaskan bahwa solidaritas adalah hal yang membuat orang bersatu untuk tujuan yang sama.[6] Rasa solidaritas inilah yang pada akhirnya membuat ikatan atau jalinan antar suporter perempuan merasa lebih dekat dan mereka merasa harus membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka.
Faktor ketiga adalah citra positif suporter perempuan. Citra positif yang dimaksud adalah pandangan positif atau penilaian yang masih baik dari lingkungan suporter perempuan seperti dari suporter laki-laki, masyarakat maupun media. Di mana suporter perempuan masih mendapat penilaian positif karena tak terlepas dari perilaku mereka sebagai suporter yang jauh dari tindak anarkis dan mereka juga bisa berperilaku layaknya suporter yang selalu setia mendukung klub kesayangan mereka. Dari beberapa perilaku tersebut otomatis mereka akan mendapat pengakuan dan penilaian yang positif dari lingkungannya. Hal ini tentunya mampu mendorong Bonita untuk tetap setia menjadi suporter dan tentunya mereka akan mengajak para perempuan untuk menjadi suporter mengingat masih baiknya citra suporter perempuan.
            Tentunya ada faktor lain yang mendorong suporter perempuan untuk tetap eksis menjadi suporter di tengah anarkisme suporter sepakbola. Beberapa hal ini akan peneliti identifikasi berdasar pengamatan dan pengumpulan data di lapangan sehingga peneliti menemukan hal lain yang mendorong suporter perempuan Bonita mampu eksis di tengah anarkisme suporter sepakbola.


[1] Richard Giulianoti, Football: a Sosiology of the Global Game (Cambridge, 1999) hal. 155
[2] John Williams, Fact Sheet 5: Woman and Football (Leicester, 2002)
[3] www.en.wikipedia.org/wiki/WAGs diunduh 1 Januari 2011

[4] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta, 1994)  hal. 181
[5] Ibid. Hal. 183
[6] Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta, 2000) hal. 166
Foto By : Hadi Subroto

Kamis, 24 Februari 2011

Perilaku Suporter Sepakbola dalam Perspektif Perilaku Sosial

Salah Satu Aksi Suporter Bonek di Lapangan
Suporter sepakbola merupakan kerumunan di mana kerumunan tersebut diartikan sebagai sejumlah orang yang berada pada tempat yang sama, adakalanya tidak saling mengenal, dan memiliki sifat yang peka terhadap stimulus (rangsangan) yang datang dari luar.[1] Suporter sepakbola meski menonton pertandingan sepakbola di tempat dan mendukung tim yang sama belum tentu mereka saling mengenal satu sama lain namun meski demikian mereka sangat peka terhadap stimulus yang datang dari luar seperti ketika tim mereka nyaris mencetak gol atau ketika gol tercipta secara tidak langsung tanpa dikordinir mereka langsung menunjukkan ekspresi yang sama yakni berteriak dan bersorak. Bahkan ketika terjadi kerusuhan pun meski tidak saling mengenal tapi atas nama solidaritas suporter pendukung kesebelasan yang sama, otomatis mereka langsung membantu rekan-rekannya ketika kerusuhan terjadi.

Perilaku suporter sepakbola bisa dikatakan sebagai perilaku sosial di mana tingkah laku suporter yang berlangsung dalam lingkungan menimbulkan akibat atau perubahan terhadap tingkah laku berikutnya. Selain itu Geroge Homans (Sosiolog) juga menjelaskan bahwa perilaku sosial adalah di mana aktivitas yang dilakukan sekurang-kurangnya dua orang bisa saling mempengaruhi satu sama lain. Perilaku suporter baik itu perilaku yang bersifat negatif maupun positif tentunya berpengaruh terhadap lingkungannya dan perilaku suporter selanjutnya.
Salah satu perilaku negatif suporter yang dampaknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat adalah perilaku anarkis seperti tindak kekerasan/tawuran antar suporter, pengrusakan fasilitas umum dan melakukan tindakan yang mengarah ke tindak kriminal seperti penjarahan di mana perilaku mereka ini tidak hanya merugikan mereka dan klub namun juga berdampak pada masyarakat dengan menyisakan rasa takut/cemas masyarakat terhadap suporter sepakbola hingga masyarakatpun memunculkan stigma terhadap mereka, selain itu kerugian materil akibat kerusuhan suporter dan juga pengrusakan fasilitas umum tentunya menjadi hal yang sangat disayangkan. Pada akhirnya maka tidak heran jika perilaku suporter sepakbola ini dianggap sebagai wujud masalah sosial karena dampak yang ditimbulkannya baik itu yang berupa fisik seperti pengrusakan fasilitas umum dan non fisik yakni rasa takut/cemas masyarakat ketika bertemu suporter sepakbola.
Sebagai perilaku sosial maka tak heran bila yang dilakukan oleh suporter sepakbola berdampak pada masyarakat dan mengundang perhatian media (baik meda cetak maupun elektronik).  Dalam beberapa kajian ilmiah dan ulasan di media terkadang perilaku suporter sepakbola dianggap sebagai perilaku menyimpang yang susah dihilangkan. Karena beberapa hal itulah akhirnya suporter sepakbola mendapat stigma dari masyarakat. Lisa A Lewis dalam bukunya yang berjudul Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media, menyatakan bahwa, “The popular press, as well, has stigmatized fandom by emphasing danger, abnormality, and sillines.”[2] Merujuk apa yang dikatakan oleh Lisa, nampak jelas bahwa stigma yang diperoleh suporter sepakbola juga tak terlepas dari pengaruh media yang selalu memberitakan suporter sepakbola dalam persepektif negatif yakni sebagai sesuatu yang berbahaya, menyimpang, tidak normal, anarkis, dan lainnya.
Penilaian negatif tentang suporter sepakbola seakan tidak pernah bisa hilang bahkan suporter sepakbola telah mendapat label sebagai sesuatu yang negatif di mata masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa labelling adalah sesuatu yang sangat merugikan ‘subjek’ di mana subjek tidak bisa membantah atau menyanggah atas label yang diperolehnya. Dalam hal ini kita bisa melihat suporter sepakbola khususnya Bonek yang telah mendapat label dari masyarakat atas segala perilaku negatif yang pernah mereka (oknum Bonek) lakukan seperti menjarah, melakukan tindak kekerasan, tidak bermodal, pengrusakan fasilitas umum, menyanyikan lagu yang bernuansa rasis dan provokatif, dan hal lainnya di mana pada akhirnya Bonek mendapat label sebagai kelompok suporter yang anarkis dan bahkan perilaku anarkis Bonek juga dianggap sebagai masalah sosial karena berbagai dampak yang ditimbulkan akibat oleh Bonek seperti kerusakan fisik pada fasilitas umum yang ada di masyarakat dan kerusakan non fisik seperti rasa cemas dan trauma masyarakat terhadap Bonek. Berkaca pada persepektif disorganisasi sosial, perilaku anarkis suporter sepakbola ini memang merupakan sebuah masalah sosial. Perspektif disorganisasi sosial menyebutkan bahwa suatu sistem adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindakan dan aktivitas.[3] Jadi sangatlah jelas, merujuk terhadap persepektif ini, perilaku anarkis suporter sepakbola merupakan sebuah pelanggaran terhadap sistem yang ada di dalam masyarakat sehingga terjadilah kondisi disorganisasi sosial.
Adanya stigma terhadap Bonek sejatinya tidak terlepas dari peran media yang begitu bersemangatnya ketika mengulas sesuatu yang buruk, maka tak heran jika sekarang muncul sebuah ungkapan “Bad News is a Good News” di mana maksud dari ungkapan tersebut adalah sesuatu atau berita yang buruk adalah “berita yang baik”. Ini tak terlepas dari kepentingan media yang mengejar porfit semata di mana objektivitas dalam pemberitaan pun tidak lagi menjadi hal yang sangat penting. Jika kita melihat, bahwa tidak sedikit pula perilaku positif dan sportif yang dilakukan oleh Bonek baik ketika pertandingan Persebaya maupun di luar pertandingan Persebaya. Seperti ketika dalam laga Liga Super Indonesia tahun 2009-2010 di mana saat itu Persebaya kalah 1-0 oleh Persik dan seri 1-1 dengan Persija (yang notabene seteru abadi Persebaya dan Bonek) di Stadion Tambakasari. Bonek mampu menunjukkan sportivitasnya dan tidak melampiaskan kekecewaannya dengan berperilaku anarkis baik di dalam maupun di luar lapangan. Selain itu Bonek juga sering melakukan kegiatan positif ketika Persebaya tidak bertanding seperti aksi donor darah saat merayakan ulang tahun Persebaya, mengumpulkan dana atau bantuan untuk korban bencana dan kegiatan lainnya yang memperabaiki citra Bonek di mata masyarakat dan mempererat hubungan antar sesama Bonek. Namun beberapa hal tersebut tidak pernah diulas media, jikapun diulas beritanya tidak sedetil perilaku negatif Bonek.
Masih adanya stigma terhadap suporter sepakbola khususnya Bonek selaku suporter Persebaya baik dari media maupun masyarakat, tentunya menjadi hambatan dan tantangan tersendiri bagi para perempuan yang juga ingin menjadi suporter Persebaya. Meski demikian ternyata hal ini tak menjadi hambatan bagi perempuan yang datang ke stadion atau menjadi suporter, ini bisa dilihat mulai banyaknya perempuan yang berdatangan ke stadion dan menjadi suporter seperti yang dilakukan oleh para perempuan yang menjadi suporter Persebaya atau yang dikenal dengan Bonita.
Sebenarnya perilaku suporter sepakbola (Bonek) tidak hanya negatif atau perilaku anarkis saja, ada perilaku positif yang ditunjukkan oleh suporter sepakbola. Perilaku ini bisanya mereka lakukan baik ketika tim kesayangan mereka bertanding maupun ketika tim mereka tidak bertanding. Ketika tim-nya bertanding misalnya, suporter sepakbola selalu datang ke stadion dan memberikan suport terhadap pemain di lapangan melalui nyanyian-nyanyian yang mampu memompa semangat pemain. Suporter juga menunjukkan kreativitas dan semangat mereka melalui gerakan-gerakan yang kompak dan juga menjadi hiburan tersendiri bagi penonton di lapangan. Ternyata keberadaan suporter sepakbola tidak hanya ada di saat tim mereka bertanding, ketika tim mereka tidak bertanding pun suporter sepakbola mampu mengadakan kegiatan-kegiatan positif di luar lapangan seperti bakti sosial, aksi sosial ketika merayakan ulang tahun klub yang didukung dan kegiatan positif lainnya yang mampu mencitrakan atau membuat mereka diterima dan lebih dekat dengan masyarakat.
Bonita sebagai suporter sepakbola tentunya juga memiliki perilaku yang sama layaknya suporter sepakbola pada umumnya/Bonek seperti yang telah dijelaskan di atas. Fery Istianto dalam skripsinya juga menjelaskan bahwa perilaku suporter perempuan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan suporter laki-laki. Tidak ada kegiatan suporter yang tidak bisa dikerjakan oleh suporter perempuan. Mulai dari berorganisasi, menjadi pengurus, ikut tour, naik truk, tidur di stasiun, bernyanyi-nyanyi di stadion, mencoreng-coreng muka, menabuh genderang, menyambut kehadiran suporter tamu hingga dini hari, dan sebagainya bisa juga dilakukan oleh suporter perempuan.[4] Namun sebagai kelompok suporter perempuan tentunya mereka memiliki sedikit perbedaan dengan suporter sepakbola yakni terkait perilaku negatif atau perilaku anarkisme suporter di mana mereka berusaha untuk tidak terlibat dalam perilaku anarkisme suporter. Ini tak terlepas dari konstruksi gender yang sudah melekat di masyarakat di mana selama ini perempuan dipandang sebagai orang yang lemah lembut, halus, anti kekerasan, keibuan, dan lainnya.[5] Basis sosio-ekonomi seperti tingkat perekonomian dan pendidikan tentu juga menjadi faktor penting membentuk perilaku suporter perempuan Bonita untuk tidak berperilaku anarkis jika mereka banyak berasal dari kalangan menengah dan berpendidikan namun jika sebaliknya belum tentu juga mereka akan berperilaku anarkis mengingat konstruksi gender yang sudah melekat dalam perempuan yang menjadi Bonita atau suporter. Beberapa hal inilah yang mempengaruhi pola perilaku perempuan ketika menjadi suporter khususnya untuk menjauh dari segala tindak anarkisme di mana meski sebagai suporter mereka juga masih menunjukkan sifat atau karakter perempuan yang sudah melekat pada diri mereka yakni sebagai sosok yang lemah lembut, anti kekerasan, dan lainnya.
Perilaku positif suporter ini tentunya juga berpengaruh terhadap lingkungannya dan perilaku mereka selanjutnya baik itu di kalangan sesama suporter maupun di masyarakat. Pada lingkungan suporter misalanya, di mana terjalinnya hubungan yang lebih dekat antar mereka baik ketika berada di dalam lapangan untuk mendukung Persebaya maupun di luar lapangan untuk terlibat dalam beberapa kegiatan positif yang telah dilakukan. Selain itu di mata masyarakat, setidaknya citra mereka bisa berubah menjadi lebih baik seiring diadakannya kegiatan positif yang dilakukan oleh suporter sepakbola. Adanya perubahan ini tentunya akan mempengaruhi perilaku suporter selanjutnya, di mana mereka akan berusaha untuk tetap atau lebih baik lagi dalam berperilaku positif.

Daftar Bacaan:
Istianto, Feri, 2005. Perempuan Suporter Sepakbola (Studi Tentang Motivasi dan Kesadaran Gender Suporter Perempuan Slemanona). Yogyakarta: Fisipol UGM
 Lewis, Lisa A, 1992. Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media. London: Routledge
Pinem, Imelda L. 2008. Materi Kuliah Isu Gender Dalam Keluarga. Yogyakarta: Fisipol UGM
Soeprapto, 2010. Materi Kuliah Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Soeteomo, 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



[1] Drs. Soeprapto, SU. Materi Kuliah Sosiologi Hukum  (Yogyakarta, 2010)
[2] Lisa A Lewis, Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media (London, 1992) hal. 1
[3] Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, (Yogyakarta, 2008) hal.83
[4] Fery Istianto, Perempuan Suporter Sepakbola, (Yogyakarta, 2005) hal.55
[5] Imelda Espinem, Kuliah Isu Gender Dalam Keluarga. (Yogyakarta, 2008) hal. 1