Suporter Perempuan Pendukung Persebaya (Bonita) |
Menurut Richard Giulianoti[1], Sosiolog dari Universitas Aberdeen Skotlandia, anggapan bahwa sepakbola merupakan olahraga laki-laki tak bisa lepas dari sejarah pemainan sepakbola. Menurut Giulianoti, sekolah umum khusus laki-laki (Male Public School) merupakan tempat yang menciptakan aturan permainan sepakbola, dan bahkan mengembangkan organisasi dan kompetisi sepakbola, dari kondisi tersebut, wajar jika sepakbola yang merupakan wilayah publik kemudian didominasi oleh laki-laki.
Meski demikian, perubahan telah terjadi. Di negara-negara dengan kultur sepakbola yang kuat seperti di Inggris, jumlah suporter perempuan selalu bertambah tiap tahunnya. Menurut FA Premier League National Fan Survey yang dilakukan John Williams dari Sir Norman Chester Centre for Football Research[2], “In 1997 about 12% of FA Premier League fans are female. In 2001 this figure rose to 15%.” Bahkan di beberapa klub seperti Ipswich Town dan Leicester City, perempuan yang menjadi suporter dan membeli tiket terusan lebih dari 20% dari total suporter. Meningkatnya jumlah suporter perempuan di Inggris dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Dalam hal ini John Williams mempunyai penjelasan bahwa meningkatnya jumlah suporter perempuan tak terlepas dari kebijakan dari klub seperti peningkatan fasilitas untuk keluarga (diberikan area khusus untuk keluarga) dan berkuranganya hooliganisme serta kekerasan dalam sepakbola. “There have been active policies by a number of clubs to attract women back to football, such as creche facilities and improved family areas. Also the reduction in incidences of hooliganism and violence have been a factor in this recent growth in female support.”
Klub-klub sepakbola di Inggris menjadikan perempuan dan anak-anaknya sebagai salah satu target pemasaran dengan menyediakan tempat duduk khusus dan meningkatkan fasilitas untuk supporter perempuan (harga khusus, toilet untuk perempuan, dan lain-lain). Hal seperti ini belum dilakukan oleh klub-klub sepakbola di Indonesia. Faktor lainnya adalah berkurangnya kerusuhan dan kekerasan di dalam stadion dengan ditingkatkannya standar keamanan oleh pihak penyelenggara pertandingan. Badan yang berwenang mengurusi sepakbola, mewajibkan panitia pertandingan untuk mencegah terjadinya kerusuhan dengan kewajiban memasang pagar penghalang antara tempat duduk penonton dengan lapangan, pembatas antara suporter dari dua tim yang berbeda, dan penyediaan tenaga keamanan yang memadai. Pertandingan yang diwarnai dengan kerusuhan bisa sebuah klub dapat dihukum denda atau larangan melakukan pertandingan tanpa penonton.
Selain beberapa hal di atas, jika berbicara mengenai perempuan di Inggris yang datang ke stadion maka kita tidak bisa melupakan WAGs (Wives and Girlfriends) yakni istilah untuk istri atau pacar pesepakbola di Inggris. Istilah ini muncul tak terlepas dari mulai banyaknya istri/pacar pesepakbola yang datang ke lapangan untuk menyaksikan dan mendukung suami/pacarnya bertanding. Entah sejak kapan istilah ini mulai muncul namun istilah ini mulai semakin santer ketika piala dunia 2006 di Jerman, di mana saat itu banyak istri/pacar dari pemain Inggris yang datang ke Jerman untuk mendukung suami/pacarnya bertanding.[3] Sayangnya meski mendapat dukungang langsung dari istri/pacarnya justru timnas Inggris gagal meraih prestasi ini tak terlepas dari gaya hidup WAGs yang bermewah-mewahan dan hobby berbelanja, di mana ketika melakukan aktivitas tersebut para WAGs juga ditemani oleh suami/pacarnya otomatis kondisi pemain pun tidak fit 100% karena waktu mereka juga dihabiskan di luar lapangan. Hal inilah yang menurut media-media di Inggris menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan timnas Inggris di piala dunia 2006.
Suporter perempuan di Inggris hampir tak jauh berbeda dengan suporter laki-lakinya dalam memberikan dukungan terhadap tim di lapangan. Bahkan fanatisme mereka bisa mengalahkan suporter laki-laki. Suporter perempuan di Inggris tidak hanya didominasi oleh remaja-remaja seperti halnya di Indonesia namun terdiri dari berbagai kalangan. Seorang kerabat penulis yang pernah singgah di Liverpool selama dua bulan menceritakan bahwa Ibu-ibu di sana (Liverpool) memiliki rasa fanatisme yang sangat tinggi terhadap tim kesayangan mereka seperti Liverpool dan Everton, baik ketika pertandingan maupun dalam kehidupan sehari-hari bayi atau anak-anak mereka selalu dikenakan aksesori dan kaos klub kesayangan mereka mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Namun perilaku suporter perempuan di Inggris paling mencolok ketika terjadi pertandingan, di mana mereka juga berbondong-bondong datang ke lapangan untuk menyaksikan klub kesayangan mereka. Mereka juga ikut menyanyikan lagu-lagu yang memberikan semangat kepada pemain di lapangan.
Apa yang terjadi di Inggris lain halnya dengan di Indonesia, meski fasilitas di stadion untuk suporter perempuan belum terlalu memadai seperti tiket, kursi, toilet, dan lainnya yang jauh dari kata memuaskan namun antusiasme perempuan yang datang ke stadion tidak kalah dengan perempuan-perempuan di Inggris. Di Indonesia tidak ada perbedaan fasilitas antara suporter perempuan dengan laki-laki ketika berada di dalam stadion, yang membedakan hanya kelas tiket yang mereka beli yakni ekonomi dan VIP. Selain itu jika tingkat anarkisme di Inggris yang menurun dan menjadi faktor pendorong banyaknya perempuan datang ke stadion, hal ini justru berbeda dengan fenomena suporter perempuan di Indonesia khususnya suporter perempuan Bonita. Seperti kita ketahui bahwa anarkisme dalam sepakbola Indonesia masih kerap saja terjadi dan tidak pernah berkurang. Salah satu suporter sepakbola di Indonesia yang identik dengan perilaku anarkisme adalah Bonek, namun meski sering terjadi anarkisme yang dilakukan Bonek maupun suporter lainnya toh suporter perempuan seperti Bonita tetap saja ada dan jumlah mereka terus bertambah. Tentunya ada beberapa faktor yang mendorong para perempuan untuk tetap datang ke lapangan atau menjadi suporter meski anarkisme suporter masih saja terjadi. Faktor pertama adalah fanatisme yang lahir dari suporter perempuan. Rasa bangga dan loyalitas mereka terhadap klub yang didukung menimbulkan rasa fanatisme terhadap mereka para suporter. Hingga akhirnya rasa fanatisme ini membuat mereka juga menjadi bagian dari klub yang mereka dukung dan menunjukkan loyalitasnya terhadap klub yang didukung meski banyak masalah yang terjadi. Peneltian yang dilakukan Sir Norman Chester Centre for Football Research dari University of Leicester pada tahun 2004 yang berjudul “Why Support Football”, menunjukkan bahwa hampir 50% suporter menjadi suporter sepakbola atau mendukung tim kesayangan karena rasa bangga terhadap klub yang mereka dukung.
Faktor kedua adalah solidaritas antar suporter perempuan. Solidaritas diterangkan oleh Durkheim dengan menunjuk pada suatu keadaan hubungan antar individu yang dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.[4] Solidaritas tersebut timbul karena adanya persamaan rasa senasib sebagai pihak minoritas dalam sepakbola yang didominasi oleh laki-laki. Persamaan rasa senasib tersebut merupakan kesadaran kolektif yang merupakan salah satu ciri solidaritas mekanik. Solidaritas mekanik menurut Durkheim didasarkan oleh suatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness conscience), yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama.[5] Sedangkan Ibn Khaldun menjelaskan bahwa solidaritas adalah hal yang membuat orang bersatu untuk tujuan yang sama.[6] Rasa solidaritas inilah yang pada akhirnya membuat ikatan atau jalinan antar suporter perempuan merasa lebih dekat dan mereka merasa harus membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka.
Faktor ketiga adalah citra positif suporter perempuan. Citra positif yang dimaksud adalah pandangan positif atau penilaian yang masih baik dari lingkungan suporter perempuan seperti dari suporter laki-laki, masyarakat maupun media. Di mana suporter perempuan masih mendapat penilaian positif karena tak terlepas dari perilaku mereka sebagai suporter yang jauh dari tindak anarkis dan mereka juga bisa berperilaku layaknya suporter yang selalu setia mendukung klub kesayangan mereka. Dari beberapa perilaku tersebut otomatis mereka akan mendapat pengakuan dan penilaian yang positif dari lingkungannya. Hal ini tentunya mampu mendorong Bonita untuk tetap setia menjadi suporter dan tentunya mereka akan mengajak para perempuan untuk menjadi suporter mengingat masih baiknya citra suporter perempuan.
Tentunya ada faktor lain yang mendorong suporter perempuan untuk tetap eksis menjadi suporter di tengah anarkisme suporter sepakbola. Beberapa hal ini akan peneliti identifikasi berdasar pengamatan dan pengumpulan data di lapangan sehingga peneliti menemukan hal lain yang mendorong suporter perempuan Bonita mampu eksis di tengah anarkisme suporter sepakbola.
[1] Richard Giulianoti, Football: a Sosiology of the Global Game (Cambridge, 1999) hal. 155
[2] John Williams, Fact Sheet 5: Woman and Football (Leicester, 2002)
[3] www.en.wikipedia.org/wiki/WAGs diunduh 1 Januari 2011
[4] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta, 1994) hal. 181
[5] Ibid. Hal. 183
[6] Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta, 2000) hal. 166
Foto By : Hadi Subroto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar