Jean Paul Baudrillard (27 July 1929 – 6 March 2007) |
Untuk membahas mengenai simulakra ini, tentunya kita bisa banyak belajar dari teori sosial postmodern dan juga salah satu tokohnya seperti Jean Paul Baudrillard. Baudrillard secara ekspilisit menjelaskan tentang postmodern yakni, “Jadi, semua yang tersisa adalah potongan-potongan. Semua sisa yang dibuat adalah untuk bermain dengan potongan-potongan tersebut. Bermain dengan potongan-potongan –itulah postmodern.”
Selain penjelasan di atas, Baudrillard juga menggambarkan postmodernisme yakni sebuah dunia yang ditandai oleh simulasi; kita hidup pada “zaman simulasi” (Baudrillard, 1983: 4; Der Derian, 1994). “Keaslian” dan dunia kultural yang cepat lenyap itu membuat Baudrillard cenderung lebih menyukai pesona dunia. Tetapi, dunia simulasi adalah hilangnya pesona secara mutlak dan...memalukan. (Baudrillard, dalam Gane, 1993: 143).
Proses simulasi ini mengarah pada terciptanya simulacra atau “reproduksi objek atau peristiwia” (Kellner, 1989d: 78). Ketika pemisahan antara tanda dengan realitas mengalami implosi, sulit memperkirakan hal-hal yang riil dari hal-hal yang menyimulasikan hal-hal riil. Sebagai contoh, Baudrillard berbicara tentang “berubahnya TV menjadi kehidupan, berubahnya kehidupan menjadi TV” (1983: 55). Pada hakikatnya representasi dari hal-hal riilah (simulasi) yang mendominasi. Sebagai contoh lain, Baudrillard juga menceritakan tentang pertandingan piala Eropa (Liga Champion) pada tahun 1987 antara Real Madrid dan Napoli yang diadakan pada malam hari tanpa penonton di lapangan.
Suporter dilarang masuk karena kebrutalan dan anarkisme yang dilakukan pendudukung Real Madrid pada pertandingan sebelumnya. Tidak ada seorang pun (suporter) yang menyaksikan pertandingan itu secara langsung di lapangan, namun ribuan bahkan jutaan orang menyaksikan lewat televisi (karena simulasi), (Baudrillard, 1990/1993: 79-80). Kita bisa melihat Disneyland, “model yang sempurna dari semua tatanan yang terkait dengan simulasi” (Baudrillard, 1983: 23). Misalnya, perjalanan dengan kapal selam yang disimulasi pada saat kelompok masyarakat menikmati kehidupan bawah laut yang disimulasi. Kita juga bisa melihat “Singapura” di Surabaya yang dibangun oleh Ciputra, dimana “Singapura” itu hanyalah sebuah simulasi/representasi dari negara Singapura.
Jadi simulasi merupakan sebuah wujud/representasi dari sesuatu yang riil adanya, jika kita memahami pengertian ini dari Baudrillard di atas.
Simulakra kurang lebih diartikan sebagai konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial (Baudrillard, dalam ritzer 2008).
Oxford dictionary menerjemahkan kata Simulacrum (bentuk tunggal dari simulakra) sebagai “a thing resembling or made to resemble something”.
Secara lebih spesifik, Baudrillard memberikan penjelasan sebagai berikut:
“So it is with simulation, insofar as it is opposed to representation. Representation starts from the principle that the sign and the real are equivalent (even if this equivalence is Utopian, it is a fundamental ax-om). Conversely, simulation starts from the utopia of this principle of equivalence, from the radical negation of the sign as value, from the sign as reversion and death sentence of every reference. Whereas representation tries to absorb simulation by interpreting it as false representation, simulation envelops the whole edifice of representation as itself a simulacrum.” (Baudrillard, 1988:169)
Jadi manipulasi kenyataan yang menenggelamkan representasi ke dalam simulasi yang mereduksi ekuivalensi (keseimbangan) antara citra dan realitas (kendati sifat ekuivalen ini pun dianggap semu), itulah yang disebut Simulakra.
Citraan adalah simulacrum yang keaslian jiplakannya tidak dapat dibedakan siapapun. Simulacrum juga merupakan jiplakan atas jiplakan. Fredric Jameson menggambarkan simulacrum sebagai “jiplakan identik yang tidak pernah ada aslinya” (1984:66). Simulakrum menurut definisinya adalah sesuatu yang superfisial dan dangkal.
Ketika tidak ada lagi kebenaran atau realitas, maka tanda tidak lagi melambangkan segala sesuatu. Jadi, kita dapat mengatakan hidup seseorang “simulakrum sangat besar” yang nyata. Bahkan simulakrum tidak pernah mengganti apa itu yang nyata, tetapi mengganti dengan sendirinya, dalam suatu sirkuit yang terputus-putus tanpa rujukan atau lingkaran (Baudrillard, 1983: 11).
Baudrilllard membedakan antara tiga tatanan simulakra, masing-masing tatanan menyerah pada tatanan berikutnya (Gerofe Ritzer, 2003: 164-165). Tatanan Pertama, kira-kira mulai Renaisans sampai awal revolusi industri, hanya simulasi tatanan pertama -pemalusan yang asli- mungkin terjadi. Baudrillard mencontohkan tiruan yang dipolesi “gorden beludru, hiasan kayu, dan lipatan-lipatan tubuh yang berlemak”. Pemalsuan tidak memberikan kemungkinan-kemungkinan kontrol atas masyarakat yang berada dalam simulakra, tetapi kontrol itu memberi petanda dan pemalsuan.
Tatanan Kedua adalah era industri yang dicirikan dengan produksi dan rangkaian reproduksi murni dari objek yang identik dengan (pendingin dan mobil) “rangkaian pengulangan atas objek yang sama” (Baudrillard, 1976/1993: 56). Beda dengan tahapan sebelumnya, yang asli tidak dipalsukan; “objek mengaburkan simulakra dari hal yang lain dan, bersama objek, manusia memproduksinya” (Baudrillard, 1976/1993: 55). Pemalusan di era insutri tidak perlu dilakukan mengingat produk dibuat secara masif dan tidak ada masalah keaslian dan kekhususannya. “Dalam sebuah rangkaian, objek tidak mendefinisikan simulakra yang satu dari yang lain” (Baudrillard, 1983: 97).
Tatanan Ketiga dikarakterisasikan dengan reproduksi, bukan lagi produksi yang mendominasi era industri. Baudrillard menyimpulkan ;
Kita paham bahwa sekarang era berada pada tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial...artinya dalam ruang simulakra, kode, proses kapital global ditemukan.
(Baudrillard, 1983: 99)
Daftar Bacaan :
Teori Sosiologi Modern, George Ritzer dan Douglass J Goodman
Teori Sosial Postmodern, Geroge Ritzer
Masyarakat Konsumsi, Jean P Baudrillard
Tidak ada komentar:
Posting Komentar