About Me

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
banyak omong banyak kerja banyak baca banyak pengen tahu pokoknya banyak deh

Jumat, 30 Juli 2010

Socrates (470-399 SM)

Socrates

Socrates lahir di Athena pada tahun 470 SM, dan meninggal pada 399 SM. Ayahnya adalah pengukir/seniman patung, sedangkan Ibunya seorang bidan. Siapa yang mengira, bahwa anak dari seorang pemahat patung dan bidan suatu saat nanti menjadi seorang filsuf besar yang namanya selalu dikenal hingga kapanpun.
Secara fisik, memang Socrates tidak mencerminkan kebanyakan orang Yunani yang terkenal gagah, ganteng dan menawan. Socrates justru sebaliknya, pendek sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya pesek, dan matanya agak menjorok ke luar. Akan tetapi kekurangan itu tertutupi dengan kelebihan kepribadiannya serta budi luhurnya.[1]
Socrates begitu pandai menguasai dirinya, ia selalu bersikap adil dan tidak pernah berlaku zalim. Selain itu dia juga merupakan guru yang amat sangat dicintai dan disegani oleh para muridnya, karena sikap dan perilakunya yang baik. Socrates selalu mendahulukan kepentingan umum dan tidak pernah mengutamakan ego dan kepentingannya. Socrates juga memiliki sifat yang cerdik, ia tidak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk.[2]
Yang terunik dari Socrates, bagi para muridnya adalah selalu bertanya, sebab ia banyak ingin tahu.  Ia berbicara dengan banyak orang dari berbagai macam kalangan; pelukis, tukang, prajurit, bangsawan, ahli perang, politisi dan sebagainya.
Socrates merupakan musuh utama dari kaum sofis yang selalu mengandalkan retorika dalam berpolitik dan membagikan ilmunya. Para guru sofis mengajarkan bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Namun Socrates menolak pandangan ini, karena menurutnya apabila banyak orang setuju dan hal itu sudah dianggap benar, dengan cara begitu ilmu pengetahuan menjadi dangkal.[3] Akhirnya Socrates mampu membungkam kaum sofis.
Karena sikap kritisnya tersebut, Socrates diadili di pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, ia dianggap meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara (Yunani). Kedua, ia dianggap menyesatkan dan merusak jiwa pemuda Yunani. Akhirnya berdasar suara terbanyak, Socrates harus dihukum mati dengan cara meminum racun. Tak sedikitpun Socrates takut dengan hukuman yang diterimanya, bahkan seorang temannya, muridnya maupun tentara yunani saat itu, meminta Socrates untuk menarik kata-kata dan pemikirannya. Namun ternyata Socrates justru memilih mati daripada mengkhianati kebenaran yang sudah diyakininya karena Bagi Socrates, mati dalam keyakninan lebih bernilai daripada mengorbankan keyakninan itu sendiri. Sebelum dieksekusi, Socrates sempat berkata kepada sahabatnya yang bernama Crito, “Crito, aku berutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarkannya.” Crito menjawab, “Utang itu akan dibayar”.[4]
Pemikiran
Bagi Socrates, filosifi bukanlah isi, bukan hasil, dan bukan juga ajaran yang berdasarkan dogma yang tidak bisa dibantah, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan, melainkan membantu mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.[5] Oleh karena itu, metodenya disebut maieutik; menguraikan. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan hobbynya, yakni selalu bertanya. Dia bertanya sana-sini, kemudian dipahaminya dengan baik apa yang telah dia pertanyakan. Maka jalan yang ditempuhnya dengan metode induksi dan definisi. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang dimaksud socrates adalah dengan membandingkan secara kritis.[6] Tentu yang dibandingkan adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dia kumpulkan.
Menurut Socrates, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Namun jika kita melihat pada era sekarang, ternyata tidak hanya yang tidak tahu saja yang jahat, yang tahu pun bisa lebih jahat dari yang tidak tahu karena mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah ia ketahui. Justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih berbahaya.
Socrates juga berbicara tentang keadilan, menurutnya keadilan adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi/pekerjaan sendiri sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi/pekerjaan orang lain (the practice of minding one’s own business). Keadilan akan terwujud jika melakukannya secara baik, apapun sesuai dengan kempampuan dengan cara teamwork dan serasi dibawah pengarahan yang paling bijaksana (Filsuf). Fungsi tiap pihak dalam masyarakat adalah dapat melakukan sendiri, sesuatu yang dapat dilaksanakan secara lebih baik daripada mengerjakan hal lain. Dan tiap hal yang dikerjakan mengandung kebajikan (virtue).[7]
Berdasar asumsi Socrates tentang adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat, Socrates membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga, yakni; a) akal budi (reason), b) semangat (spirit), dan c) nafsu (desire). Ketiga tipe itu akan mencapai puncaknya di bawah pengarahan akal budi dan kemudian keadilan dalam masyarakat akan terwujud apabila masyarakat melakukan secara baik apa saja yang sesuai kemampuan dengan arahan dari yang paling bijaksana (akal budi/filsof).
Jika di atas adalah tipe manusia, maka dari 3 tipe tersebut Socrates membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni; a) pedaganag yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya (nafsu), b) prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), c) filosof yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi).
Berdasar asumsi adanya kesejajaran antara cara hidup manusia dan tata masyarakat itu pula, Socrates membedakan rezim menjadi lima tipe.[8]
Pertama, Aristokrasi. Dikatakan rezim terbaik karena diperintah oleh raja yang bijaksana (filosof). Rezim ini dijiwai dengan akal budi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hanya yang bijaksana (filosof) yang mampu mengarahkan masyarakat dengan baik dan optimal.
Kedua, Timokrasi. Merupakan rezim terbaik kedua, karena dipimpin oleh mereka yang menyukai kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit (militer). Rezim ini dijiwai dengan semangat (spirit).
Ketiga, Oligarki.  Dipimpin oleh kelompok kecil yang memiliki kekataan melimpah seperti  pengusaha/pedagang/saudagar. Rezim ini dijiwai dengan keinginan yang perlu (necessary desire).
Keempat, Demokrasi. Dikategorikan sebagai rezim yang dipimpin oleh banyak orang yang hanya mengandalkan kebebasan atau keinginan yang tak perlu (unnecessary desire).
Kelima, Tirani. Sebagai rezim terburuk yang pernah ada, karena dipimpin oleh seorang tiran yang memerintah sekehandak nafsunya (unlawful desire). Seorang tidak tidak memiliki kontrol atas dirinya, tidak ada keadilan dalam rezim ini.

Daftar Bacaan
Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, 1980, Jakarta, Tintamas-UI Press
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, 1999,  Bandung, Mizan Pustaka
Dr. Firadus Syam, Pemikiran Politik Barat, 2007, Jakarta, Bumi Aksara
Prof. Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, 1992, Jakarta, Grasindo
Plato. 1968. The Republic. Translated with notes and interpretative essay by Allan Bloom. New York: Basic Books, Inc, Book IV.



[1] Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, Jakarta, Tintamas-UI Press, 1980, hlm. 78.
[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, Bandung, Mizan Pustaka, 1999, hlm. 73.
[3] Dr. Firadus Syam, Pemikiran Politik Barat, Jakarta, Bumi Aksara, 2007, hlm. 22.
[4] Deliar Noer, op, cit, hlm. 79.
[5] Dr. Firadus Syam, op,cit, hlm. 23.
[6] Deliar Noer, op, cit, hlm. 81.
[7] Prof. Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Grasindo, 1992, hlm. 24.
[8] Plato. 1968. The Republic. Translated with notes and interpretative essay by Allan Bloom. New York: Basic Books, Inc, Book IV. Hlm. 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar