About Me

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
banyak omong banyak kerja banyak baca banyak pengen tahu pokoknya banyak deh

Jumat, 30 Juli 2010

Socrates (470-399 SM)

Socrates

Socrates lahir di Athena pada tahun 470 SM, dan meninggal pada 399 SM. Ayahnya adalah pengukir/seniman patung, sedangkan Ibunya seorang bidan. Siapa yang mengira, bahwa anak dari seorang pemahat patung dan bidan suatu saat nanti menjadi seorang filsuf besar yang namanya selalu dikenal hingga kapanpun.
Secara fisik, memang Socrates tidak mencerminkan kebanyakan orang Yunani yang terkenal gagah, ganteng dan menawan. Socrates justru sebaliknya, pendek sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya pesek, dan matanya agak menjorok ke luar. Akan tetapi kekurangan itu tertutupi dengan kelebihan kepribadiannya serta budi luhurnya.[1]
Socrates begitu pandai menguasai dirinya, ia selalu bersikap adil dan tidak pernah berlaku zalim. Selain itu dia juga merupakan guru yang amat sangat dicintai dan disegani oleh para muridnya, karena sikap dan perilakunya yang baik. Socrates selalu mendahulukan kepentingan umum dan tidak pernah mengutamakan ego dan kepentingannya. Socrates juga memiliki sifat yang cerdik, ia tidak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk.[2]
Yang terunik dari Socrates, bagi para muridnya adalah selalu bertanya, sebab ia banyak ingin tahu.  Ia berbicara dengan banyak orang dari berbagai macam kalangan; pelukis, tukang, prajurit, bangsawan, ahli perang, politisi dan sebagainya.
Socrates merupakan musuh utama dari kaum sofis yang selalu mengandalkan retorika dalam berpolitik dan membagikan ilmunya. Para guru sofis mengajarkan bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Namun Socrates menolak pandangan ini, karena menurutnya apabila banyak orang setuju dan hal itu sudah dianggap benar, dengan cara begitu ilmu pengetahuan menjadi dangkal.[3] Akhirnya Socrates mampu membungkam kaum sofis.
Karena sikap kritisnya tersebut, Socrates diadili di pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, ia dianggap meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara (Yunani). Kedua, ia dianggap menyesatkan dan merusak jiwa pemuda Yunani. Akhirnya berdasar suara terbanyak, Socrates harus dihukum mati dengan cara meminum racun. Tak sedikitpun Socrates takut dengan hukuman yang diterimanya, bahkan seorang temannya, muridnya maupun tentara yunani saat itu, meminta Socrates untuk menarik kata-kata dan pemikirannya. Namun ternyata Socrates justru memilih mati daripada mengkhianati kebenaran yang sudah diyakininya karena Bagi Socrates, mati dalam keyakninan lebih bernilai daripada mengorbankan keyakninan itu sendiri. Sebelum dieksekusi, Socrates sempat berkata kepada sahabatnya yang bernama Crito, “Crito, aku berutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarkannya.” Crito menjawab, “Utang itu akan dibayar”.[4]
Pemikiran
Bagi Socrates, filosifi bukanlah isi, bukan hasil, dan bukan juga ajaran yang berdasarkan dogma yang tidak bisa dibantah, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan, melainkan membantu mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.[5] Oleh karena itu, metodenya disebut maieutik; menguraikan. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan hobbynya, yakni selalu bertanya. Dia bertanya sana-sini, kemudian dipahaminya dengan baik apa yang telah dia pertanyakan. Maka jalan yang ditempuhnya dengan metode induksi dan definisi. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang dimaksud socrates adalah dengan membandingkan secara kritis.[6] Tentu yang dibandingkan adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dia kumpulkan.
Menurut Socrates, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahatnya dari orang yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Namun jika kita melihat pada era sekarang, ternyata tidak hanya yang tidak tahu saja yang jahat, yang tahu pun bisa lebih jahat dari yang tidak tahu karena mereka bisa memanipulasi dan mencari-cari celah dari apa yang telah ia ketahui. Justru kejahatan dari orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih berbahaya.
Socrates juga berbicara tentang keadilan, menurutnya keadilan adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi/pekerjaan sendiri sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi/pekerjaan orang lain (the practice of minding one’s own business). Keadilan akan terwujud jika melakukannya secara baik, apapun sesuai dengan kempampuan dengan cara teamwork dan serasi dibawah pengarahan yang paling bijaksana (Filsuf). Fungsi tiap pihak dalam masyarakat adalah dapat melakukan sendiri, sesuatu yang dapat dilaksanakan secara lebih baik daripada mengerjakan hal lain. Dan tiap hal yang dikerjakan mengandung kebajikan (virtue).[7]
Berdasar asumsi Socrates tentang adanya kesejajaran antara cara hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat, Socrates membedakan tipe manusia (jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga, yakni; a) akal budi (reason), b) semangat (spirit), dan c) nafsu (desire). Ketiga tipe itu akan mencapai puncaknya di bawah pengarahan akal budi dan kemudian keadilan dalam masyarakat akan terwujud apabila masyarakat melakukan secara baik apa saja yang sesuai kemampuan dengan arahan dari yang paling bijaksana (akal budi/filsof).
Jika di atas adalah tipe manusia, maka dari 3 tipe tersebut Socrates membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni; a) pedaganag yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya (nafsu), b) prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), c) filosof yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi).
Berdasar asumsi adanya kesejajaran antara cara hidup manusia dan tata masyarakat itu pula, Socrates membedakan rezim menjadi lima tipe.[8]
Pertama, Aristokrasi. Dikatakan rezim terbaik karena diperintah oleh raja yang bijaksana (filosof). Rezim ini dijiwai dengan akal budi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hanya yang bijaksana (filosof) yang mampu mengarahkan masyarakat dengan baik dan optimal.
Kedua, Timokrasi. Merupakan rezim terbaik kedua, karena dipimpin oleh mereka yang menyukai kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit (militer). Rezim ini dijiwai dengan semangat (spirit).
Ketiga, Oligarki.  Dipimpin oleh kelompok kecil yang memiliki kekataan melimpah seperti  pengusaha/pedagang/saudagar. Rezim ini dijiwai dengan keinginan yang perlu (necessary desire).
Keempat, Demokrasi. Dikategorikan sebagai rezim yang dipimpin oleh banyak orang yang hanya mengandalkan kebebasan atau keinginan yang tak perlu (unnecessary desire).
Kelima, Tirani. Sebagai rezim terburuk yang pernah ada, karena dipimpin oleh seorang tiran yang memerintah sekehandak nafsunya (unlawful desire). Seorang tidak tidak memiliki kontrol atas dirinya, tidak ada keadilan dalam rezim ini.

Daftar Bacaan
Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, 1980, Jakarta, Tintamas-UI Press
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, 1999,  Bandung, Mizan Pustaka
Dr. Firadus Syam, Pemikiran Politik Barat, 2007, Jakarta, Bumi Aksara
Prof. Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, 1992, Jakarta, Grasindo
Plato. 1968. The Republic. Translated with notes and interpretative essay by Allan Bloom. New York: Basic Books, Inc, Book IV.



[1] Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, Jakarta, Tintamas-UI Press, 1980, hlm. 78.
[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, Bandung, Mizan Pustaka, 1999, hlm. 73.
[3] Dr. Firadus Syam, Pemikiran Politik Barat, Jakarta, Bumi Aksara, 2007, hlm. 22.
[4] Deliar Noer, op, cit, hlm. 79.
[5] Dr. Firadus Syam, op,cit, hlm. 23.
[6] Deliar Noer, op, cit, hlm. 81.
[7] Prof. Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Grasindo, 1992, hlm. 24.
[8] Plato. 1968. The Republic. Translated with notes and interpretative essay by Allan Bloom. New York: Basic Books, Inc, Book IV. Hlm. 111.

Simulakra Jean Baudrillad

Jean Paul Baudrillard
(27 July 1929 – 6 March 2007)
Untuk membahas mengenai simulakra ini, tentunya kita bisa banyak belajar dari teori sosial postmodern dan juga salah satu tokohnya seperti Jean Paul Baudrillard. Baudrillard secara ekspilisit menjelaskan tentang postmodern yakni, “Jadi, semua yang tersisa adalah potongan-potongan. Semua sisa yang dibuat adalah untuk bermain dengan potongan-potongan tersebut. Bermain dengan potongan-potongan –itulah postmodern.”
Selain penjelasan di atas, Baudrillard juga menggambarkan postmodernisme yakni sebuah dunia yang ditandai oleh simulasi; kita hidup pada “zaman simulasi” (Baudrillard, 1983: 4; Der Derian, 1994). “Keaslian” dan dunia kultural  yang cepat lenyap itu membuat Baudrillard cenderung lebih menyukai pesona dunia. Tetapi, dunia simulasi adalah hilangnya pesona secara mutlak dan...memalukan. (Baudrillard, dalam Gane, 1993: 143).

Proses simulasi ini mengarah pada terciptanya simulacra atau “reproduksi objek atau peristiwia” (Kellner, 1989d: 78). Ketika pemisahan antara tanda dengan realitas mengalami implosi, sulit memperkirakan hal-hal yang riil dari hal-hal yang menyimulasikan hal-hal riil. Sebagai contoh, Baudrillard berbicara tentang “berubahnya TV menjadi kehidupan, berubahnya kehidupan menjadi TV” (1983: 55). Pada hakikatnya representasi dari hal-hal riilah (simulasi) yang mendominasi. Sebagai contoh lain, Baudrillard juga menceritakan tentang pertandingan piala Eropa (Liga Champion) pada tahun 1987 antara Real Madrid dan Napoli yang diadakan pada malam hari tanpa penonton di lapangan. 

Suporter dilarang masuk karena kebrutalan dan anarkisme yang dilakukan pendudukung Real Madrid pada pertandingan sebelumnya. Tidak ada seorang pun (suporter) yang menyaksikan pertandingan itu secara langsung di lapangan, namun ribuan bahkan jutaan orang menyaksikan lewat televisi (karena simulasi), (Baudrillard, 1990/1993: 79-80). Kita bisa melihat Disneyland, “model yang sempurna dari semua tatanan yang terkait dengan simulasi” (Baudrillard, 1983: 23). Misalnya, perjalanan dengan kapal selam yang disimulasi pada saat kelompok masyarakat menikmati kehidupan bawah laut yang disimulasi. Kita juga bisa melihat “Singapura” di Surabaya yang dibangun oleh Ciputra, dimana “Singapura” itu hanyalah sebuah simulasi/representasi dari negara Singapura.

Jadi simulasi merupakan sebuah wujud/representasi dari sesuatu yang riil adanya, jika kita memahami pengertian ini dari Baudrillard di atas.
Simulakra kurang lebih diartikan sebagai konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial (Baudrillard, dalam ritzer 2008).

Oxford dictionary menerjemahkan kata Simulacrum (bentuk tunggal dari simulakra) sebagai “a thing resembling or made to resemble something”


Secara lebih spesifik, Baudrillard memberikan penjelasan sebagai berikut:
“So it is with simulation, insofar as it is opposed to representation. Representation starts from the principle that the sign and the real are equivalent (even if this equivalence is Utopian, it is a fundamental ax-om). Conversely, simulation starts from the utopia of this principle of equivalence, from the radical negation of the sign as value, from the sign as reversion and death sentence of every reference. Whereas representation tries to absorb simulation by interpreting it as false representation, simulation envelops the whole edifice of representation as itself a simulacrum.” (Baudrillard, 1988:169)

Jadi manipulasi kenyataan yang menenggelamkan representasi ke dalam simulasi yang mereduksi ekuivalensi (keseimbangan) antara citra dan realitas (kendati sifat ekuivalen ini pun dianggap semu), itulah yang disebut Simulakra

Citraan adalah simulacrum yang keaslian jiplakannya tidak dapat dibedakan siapapun. Simulacrum juga merupakan jiplakan atas jiplakan. Fredric Jameson menggambarkan simulacrum sebagai “jiplakan identik yang tidak pernah ada aslinya” (1984:66). Simulakrum menurut definisinya adalah sesuatu yang superfisial dan dangkal.

Ketika tidak ada lagi kebenaran atau realitas, maka tanda tidak lagi melambangkan segala sesuatu. Jadi, kita dapat mengatakan hidup seseorang “simulakrum sangat besar” yang nyata. Bahkan simulakrum tidak pernah mengganti apa itu yang nyata, tetapi mengganti dengan sendirinya, dalam suatu sirkuit yang terputus-putus tanpa rujukan atau lingkaran (Baudrillard, 1983: 11).

Baudrilllard membedakan antara tiga tatanan simulakra, masing-masing tatanan menyerah pada tatanan berikutnya (Gerofe Ritzer, 2003: 164-165). Tatanan Pertamakira-kira mulai Renaisans sampai awal revolusi industri, hanya simulasi tatanan pertama -pemalusan yang asli- mungkin terjadi. Baudrillard mencontohkan tiruan yang dipolesi “gorden beludru, hiasan kayu, dan lipatan-lipatan tubuh yang berlemak”. Pemalsuan tidak memberikan kemungkinan-kemungkinan kontrol atas masyarakat yang berada dalam simulakra, tetapi kontrol itu memberi petanda dan pemalsuan.

Tatanan Kedua adalah era industri yang dicirikan dengan produksi dan rangkaian reproduksi murni dari objek yang identik dengan (pendingin dan mobil) “rangkaian pengulangan atas objek yang sama” (Baudrillard, 1976/1993: 56). Beda dengan tahapan sebelumnya, yang asli tidak dipalsukan; “objek mengaburkan simulakra dari hal yang lain dan, bersama objek, manusia memproduksinya” (Baudrillard, 1976/1993: 55). Pemalusan di era insutri tidak perlu dilakukan mengingat produk dibuat secara masif dan tidak ada masalah keaslian dan kekhususannya. “Dalam sebuah rangkaian, objek tidak mendefinisikan simulakra yang satu dari yang lain” (Baudrillard, 1983: 97).

Tatanan Ketiga dikarakterisasikan dengan reproduksi, bukan lagi produksi yang mendominasi era industri. Baudrillard menyimpulkan ;
Kita paham bahwa sekarang era berada pada tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial...artinya dalam ruang simulakra, kode, proses kapital global ditemukan.
(Baudrillard, 1983: 99)




Daftar Bacaan :
Teori Sosiologi Modern, George Ritzer dan Douglass J Goodman
Teori Sosial Postmodern, Geroge Ritzer
Masyarakat Konsumsi, Jean P Baudrillard

Jumat, 23 Juli 2010

Suicide ala Durkheim

Emile Durkheim
(1858-1917)

Emile Durkheim (1858-1917) mendefinisikan bunuh diri sebagai "kematian yang secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari tindakan positif atau negatif dari sang korban itu sendiri" (suicide, 1897).

Durkheim menjelaskan empat tipe bunuh diri yang didasarkan pada dua kekuatan sosial, yakni integrasi sosial (kemampuan individu untuk terikat pada tatanan masyarakat) dan regulasi moral (aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur kehidupan individu).
Tipe pertama adalah bunuh diri egoistik (egoistic suicide). Bunuh diri akibat terlalu sedikitnya integrasi sosial yang berhasil dilakukan sang individu. Individu tersebut tidak cakap melakukan pengikatan diri dengan kelompok-kelompok sosial (bergaul/berinteraksi dengan kelompok sosial/masyarakat). Akibatnya adalah nilai-nilai, berbagai tradisi, norma-norma serta tujuan-tujuan sosial pun sangat sedikit untuk dijadikan panduan hidupnya.
Tipe kedua adalah bunuh diri altruistik (altruistic suicide). Bunuh diri akibat dari integrasi sosial yang terlalu kuat. Pengorbanan diri mampu mendefinisikan sikap dan perilaku individu yang sangat menyatu dengan kelompok-kelompok sosial.  Akhirnya mereka kehilangan pandangan terhadap keberadaan diri sendiri, sehingga mendorong mereka melakukan pengorbanan (sacrifice) demi kepentingan-kepentingan kelompoknya.
Tipe ketiga adalah bunuh diri anomik (anomic suicide) bunuh diri yang dilakukan ketika tatanan, hukum-hukum, serta berbagai aturan moralitas sosial mengalami kekosongan.
Ada empat jenis bunuh diri akibat dari tipe anomik ini, antara lain:
Pertama, anomi ekonomis akut (acute economic anomie) yakni kemerosotan secara sporadis pada kemampuan lembaga-lembaga tradisional (seperti agama dan sistem-sistem sosial pra-industrial) untuk meregulasikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
Kedua, anomi ekonomis kronis (chronic economic anomie) adalah kemerosotan regulasi moral yang berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Misalnya saja Revolusi Industri yang menggerogoti aturan-aturan sosial tradisional. Tujuan-tujuan untuk meraih kekayaan dan milik pribadi ternyata tidak cukup untuk menyediakan perasaan bahagia. Saat itu angka bunuh diri lebih tinggi terjadi pada orang yang kaya daripada orang-orang yang miskin.
Ketiga, anomi domestik akut (acute domestic anomie) yang dapat dipahami sebagai perubahan yang sedemikian mendadak pada tingkatan mikrososial yang berakibat pada ketidakmampuan untuk melakukan adaptasi. Misalnya saja keadaan menjadi janda (widowhood) merupakan contoh terbaik dari kondisi anomi semacam ini.
Keempat adalah anomi domestik kronis (chronic domestic anomie) dapat dilihat pada kasus pernikahan sebagai institusi atau lembaga yang mengatur keseimbangan antara sarana dan kebutuhan seksual dan perilaku di antara kaum lelaki dan perempuan. Seringkali yang terjadi adalah lembaga perkawinan secara tradisional sedemikian mengekang kehidupan kalangan perempuan sehingga membatasi peluang-peluang dan tujuan-tujuan hidup mereka.
Masyarakat merupakan realitas sui generis; memiliki karakteristik khas tersendiri, representasi yang diekspresikan mempunyai “isi” yang berbeda dari yang murni bersifat individual. Masyarakat terikat menjadi suatu kesatuan bukan karena hubungan material, tetapi karena pertalian ide-ide, perasaan, kepercayaan moral tradisional, dan cita-cita membentuk warisan budaya para anggota masyarakat tersebut.
Masyarakat bersifat impersonal dan memiliki properti conscience collective (kesadaran kolektif /suara hati masyarakat) yang berbeda dengan kesadaran individual. Conscience collective yaitu kesatuan erat yang terbentuk dari pikiran-pikiran individual sebagai elemen-elemennya.
Menurut Durkheim, perubahan sosial dapat dideskripsikan dengan membedakan menjadi 2 tipe solidaritas sosial;
Solidaritas Mekanis didasarkan pada homogenitas moral dan sosial, sehingga berciri; tradisional, non individualistik/komunal, keadilan kolektif, properti bersifat komunal, kehendak komunitas mendominai kehendak individu, kekerabatan, lokalisme,sakral.
Solidaritas Organis, masyarakat didasarkan pada individu-individu dengan fungsi yang berbeda dan dipersatukan oleh peran-peran komplementer. Sehingga berciri; personal, kesamaan kesempatan serta kesederajatan, regulasi kooperasi serta pertukaran, keseimbangan tugas dan kewajiban dan, otonomi berserikat.



Übermensch

Friedrich Wilhelm Nietzsche



Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Röcken. Beliau dinamakan Friedrich Wilhelm karena hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran Friedrich Wilhelm seorang raja Prusia yang sangat dihormati pada masanya, merupakan kebanggaan bagi Nietzsche kecil hari kelahirannya selalu dirayakan banyak orang.
Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang soleh. Kakeknya, Friedrich August Ludwig (1756-1862) adalah pejabat tinggi dalam gereja Lutheran yang dapat disejajarkan dengan seorang uskup dalam gereja Katholik. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849), adalah seorang pendeta di desa Röcken dekat Lützen, sedangkan ibunya, Franziska Oehler (1826-1897) juga seorang Lutheran dan berasal dari keluarga pendeta. Sehingga tidak mengherankan apabila keluarga Nietzsche sangat terkenal dengan ketaatannya.

Gagasannya tentang Übermensch

Pada tahun 1865 Nietzsche memutuskan untuk tidak belajar Teologi, keputusan ini sangat erat hubungannya dengan keraguannya akan keimanannya dan tentunya mendapat tantangan dari ibunya, namun Ia pernah menulis surat bahwa “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah…” dan pemikiran ini yang mendasari Nietzsche untuk menjadi freethinker.
Gagasan utama dari Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (Will to Power), dimana salah satu cara menunjukkan kehendak untuk berkuasa ini diungkapkan melalui gagasannya tentang Übermensch (Overman taua Superman). Übermensch merupakan suatu tujuan hidup manusia di dunia ini agar mereka kerasan. Gagasan tentang Übermensch ini banyak diungkapkan dalam bukunya  yang berjudul Also Sprach Zarathustra, seperti :
Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu.
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.
(Also Sprach Zarathustra)

Übermensch dari Sudut Pandang Eksistensialisme

Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan ada-ada yang lainnya, dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan pula bahwa eksistensi adalah manusia sadar akan dirinya, manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.
Ada beberapa ciri umum Filsafat Eksistensialisme yang merupakan perumusan dari beberapa filusuf eksistensialis, yaitu :
·         Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistik.
·         Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
·         Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesamanya.
·         Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. (Harun Hadiwijono,1998,149)
Übermensch merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dimana manusia itu dapat mengatasi kumpulan manusia dalam massa dengan menggunakan kekuatannya. Yang menjadi tujuan utama adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani, dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan dalam massa. Yang dimaksud kehanyutan dalam massa disini adalah manusia yang ingin mencapai Übermensch haruslah mempunyai jati diri yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak mengikuti orang lain atau norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumnya.
Dalam kesempatan lain Nietzsche mengungkapkan bahwa persamaan hak atau persamaan antar bangasa serta asas demokrasi merupakan suatu gejala bahwa masyarakat telah menjadi busuk. Tidak akan pernah ada persamaan hak karena manusia mempunyai ciri-ciri yang unik yang individual, dan manusia yang unggul ataupun bangsa yang unggul harus menguasai manusia atau bangsa yang lemah, sehigga Nietzsche mendukung peperangan dan mengutuk perdamaian. Perdamaian boleh terjadi tetapi untuk waktu yang tidak lama seperti yang diungkapkannya dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu :
“Kau harus cinta perdamaian sebagai alat untuk peperangan-peperangan baru dan masa damai yang singkat lebih baik ketimbang yang panjang. Kepadamu tidak kuanjurkan kerja, melainkan perjuangan, Kepadamu tidak kuanjurkan perdamaian, melainkan kemenangan. Jadikanlah karyamu sebagai perjuangan. Jadikanlah perdamaian sebagai kemenanganmu. Orang bisa tidak bersuara dan duduk diam saja kalau ia memiliki busur dan panah, kalau tidak mereka niscaya membual dan cekcok saja”.
Manusia atau bangsa harus dipimpin oleh bangsa atau manusia yang unggul atau manusia atas, dan tidak akan pernah ada kesamaan hak, karena doktrin kesamaan hak itu merupakan perlindungan bagi golongan yang lemah agar tidak diserang atau dijajah oleh bangsa yang unggul seperti semboyan yang terus diteriakkan adalah laissezfaire pada masyarakat demokratis dimana mereka merindukan kesamaan hak adalah sebenarnya orang-orang pengecut belaka.
Doktrin bangsa yang unggul adalah yang dipakai oleh Adolf Hitler dalam Nazisme. Untuk mempertegasnya maka perlu diungkapkan apa yang telah dikatakan Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra yaitu:
“Sebab bagiku beginilah bunyi keadilan : ’Manusia tidaklah sama.’ Tidak pula mereka akan menjadi sama”.
Nietzsche mengatakan dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu Jadilah manusia atas, ibarat samudera luas yang tidak akan luntur karena harus menampung arus sungai yang keruh. Manusia harus terus menerus malampaui dirinya sendiri, terus menerus mencipta. Dan dilanjutkan dalam bagian lain dalam buku yang sama yaitu :
“Sudah tiba waktunya bagi manusia untuk menentukan tujuan baginya sendiri. Sudah tiba saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapannya yang seunggul-unggulnya…”
Dari ujaran Zarathustra diatas dapat diungkapkan bahwa Nietzsche percaya bahwa manusia unggul selalu aktif dan kreatif yang tidak akan pernah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya, manusia selalu mempunyai ciri khas tersendiri mempunyai nilai dan norma sendiri karena manusialah yang menciptakan nilai dan norma tersebut. Manusia unggul baru akan terjadi apabila manusia itu dalam keadaan menderita, karena untuk mejadi kreator diperlukan penderitaan dan banyak perubahan.
Bagaimanapun manusia terus berusaha untuk menjadi unggul manusia juga harus terus menyadari bahwa manusai tidak akan mampu melampaui batas-batas kemampuannya sendiri. Dalam Zarathustra juga diungkapkan suatu ajaran Yunani Kuno yang berbunyi “Kenalilah dirimu”, dimana manusia harus mampu menjadi saksi bagi dirinya sendiri dan atas dasar itu ia akan mampu pula mendudukkan dirinya pada tempat yang sesuai. Dan dalam Zarathsutra Nietzsche mengungkapkan
“Jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu, melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan sendiri mengandung ciri kepalsuan yang menjijikkan”
Ungkapan Nietzsche yang bisa menjadi renungan kita adalah setiap orang mempunyai tempat sendiri dalam kehidupan ini, yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing (terlihat ada pengaruh dari Zen Buddhisme tentang konsep Kekosongan atau ke-sunya-an).
Untuk menjadi Übermensch manusia haruslah menyadari siapa dirinya dan karenanya manusia juga harus mengetahuai bahwa manusia sebelumnya adalah “kau” dan ketika manusia telah sadar akan kemampuannya maka ia telah menjadi “aku”.
Jika manusia tidak mempunyai cita-cita atau keinginan untuk menjadi unggul maka Nietzsche sangat jengkel pada mereka yang selalu mengharapkan belas kasihan orang lain karena mereka tidak mempunyai rasa malu dan Nietzsche mengatakan, “menjengkelkan untuk memberi mereka sesuatu tetapi menjengkelkan juga untuk tidak memberi mereka apa-apa.”
Dan seperti telah diugkapkan diatas bahwa manusia yang unggul adalah manusia yang mempunyai keberanian untuk memusnahkan nilai-nilai lama, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche dibawah ini :
“… Siapa pun yang hendak menjadi kreator dalam kebaikan dan keburukan, sesungguhnya, ia lebih dahulu harus menjadi pemusnah dan pendobrak segala nilai.”
Orang yang bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya, sebab “Diam adalah lebih buruk, semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun.”(Fuad Hassan,1992,67)
Diakhir cerita Also Sprach Zarathustra diungkapkan bahwa Nietzsche tidak menginginkan penganut-penganutnya untuk terus mengikutinya, Ia menginginkan manusia mencari jalannya sendiri, mencari jalan hidupnya sendiri. Bahkan Nietzsche menginginkan untuk terus ditentang dan dilawan oleh para pengikutnya. Hal ini diungkapkan dalam bukunya tersebut :
“ Sekarang aku pergi sendiri, hai penganut-penganutku.
Kalian pun pergilah sekarang, sendiri.
Demikianlah kehendakku.
Jauhilah aku dan lawanlah Zarathustra”
Dan ungkapan ini terus dipertegas dengan ungkapan lain yang juga terdapat dalam bukunya yaitu :
“ Tak sempurnalah seseorang membalas jasa gurunya, bilamana ia terus menerus bertahan sebagai muridnya saja.”
Dari uraian diatas terlihat lagi ada pengaruh dari Zen Buddhisme yang mengungkapkan pelajaran itu baru dikatakan telah merasuk dalam diri apabila telah melakukan kekosongan dan telah mengkosongkan pikirannya. Demikian Nietzsche menerapkan setelah menerima ujaran Zarathustra maka hilangkan ajaran itu dalam pikiranmu dan carilah jalanmu sendiri, dan tempuhlah sehingga kita dapat membentuk jati diri sendiri.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ajaran utama Nietzsche adalah Kehendak untuk berkuasa (Will to Power) yang dapat ditempuh dengan mencapai suatu cita-cita manusia unggul atau Übermensch.
Cara mencapai manusia unggul adalah dengan tiga komponen dasar, yaitu harus mempunyai keberanian, kecerdasan dan kebanggaan. Mereka harus berani karena mereka harus berani menghadapi kehidupan ini baik kebahagiaan maupun penderitaan. Nietzsche menegaskan bahwa dengan penderitaan manusia akan mencapai potensi yang maksimal, karena dengan dihadapkan dengan konflik manusia akan dapat dengan baik mengeluarkan segala potensi dan kemampuannya dan ini akan membantu manusia untuk menjadi Übermensch.
Konsep Übermensch inilah yang dapat dilihat sebagai suatu gagasan yang bernilai eksistensial bagi keberadaan manusia yang berada di dunia ini.
Nietzsche mengakhiri hidupnya dengan kesendirian setelah keinginannya untuk menikahi Lou Salome tidak disetujui oleh kakak perempuannya, Elizabeth, karena rencana pernikahan yang melibatkan Paul Ree dimana mereka terlibat cinta segitiga. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1900 Nietzsche menghembuskan nafas terakhirnya di Weimar Namun sayangnya Nietzsche tidak sempat merasakan kemasyurannya ini terutama disaat-saat akhir hidupnya.


Tulisan ini adalah ringkasan dari tulisan Arif Wibowo yang berjudul "ÜBERMENSCH: Supermannya Nietzsche".

Pustaka
1.                  Dagun Save. M, Filsafat Eksistensialisme, cet.1, Rineka Cipta, Jakarta, 1990
2.                  Feibleman, James K., Understanding Philosophy : A Popular History of Ideas, Ed. 2, Billing & Sons Ltd, New York, 1986
3.                  Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet.14, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
4.                  Hassan, Fuad, Berkenalan dengan Eksistensialisme,cet.5, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992
5.                  Sunardi, ST, Nietzsche, Cet. 2, LkiS, Yogyakarta, 1999

Sabtu, 10 Juli 2010

Sedikit Tentang Max Weber

Max Weber

Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia pada tahun 1864 dan meninggal di Munich pada 1920. Ada beberapa karya utama Webber, yakni : Methodological Essays (1902), The Protestan Ethic and the Spirit Of Capitalism(1902-4), Economy and Society (1910-1914), Sociology of Religion (1916).
Weber lahir dari keluarga kelas menengah, ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relatif penting sedangkan ibunya adalah serang calvinis yang sangat religius yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi. Keadaan rumah tangga orang tua Weber jauh dari kata damai dan kompak, perbedaan kedua orang tuanya cenderung memunculkan konflik dalam rumah tangga. Hal ini semakin menyulitkan Weber, karena Weber juga bingung menentukan pilihan hidupnya. Mula-mula ia lebih cenderung pada orientasi kehidupan ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Apa pun pilihannya, perbedaan kedua orang tua yang cukup mencolok pada akhirnya juga mempengaruhi kondisi psikis Weber.
Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah dan melakukan studi di Universitas Heidelberg. Setelah tiga tahun, Weber meninggalkan kampusnya untuk mengikuti wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan tinggal di rumah orang tuanya serta melanjutkan studinya di Universitas Berlin. Weber menetap di Berlin hampir selama 8 tahun dan dia juga mendapat gelar doktor di Universitas serta mengajar disana. Meski mendapat gelar doktor dan menjadi pengacara serta dosen, secara finansial Weber masih mengandalkan ayahnya, satu situasi yang tidak disukai olehnya.
Pada 1896 ia mendapat gelar profesor ekonomi dari Universitas Heidelberg, setahn kemudian ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat dengannya. Kejadian ini tidak lama kemudian meruntuhkan mental Weber. Sering kali ia tidak fokus dalam bekerja dan tidak dapat tidu, hampir sekitar 6-7 tahun dia mengalami kondisi seperti ini. Akhirnya pada 1903 kondisinya berangsur membaik pada 1904 ia kembali mengajar dan di tahun itu pula ia menerbitkan salah satu karyanya yang paling fenomenal yakni The Protestant Ethic adn the Spirit of Capitalism. Weber banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari agama, namun secara pribadi ia tidak religius.
Sebelum meninggal pada 14 Juni 1920, ia tengah mengerjakan karya terpentingya yakni Economics and Society namun sayang tidak terselesaikan karena ajal terlanjur memanggilnya.
Teori Tindakan Sosial
Bagi Weber, dunia terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya dan ditujukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan/kehendaki. Setelah memilih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih tindakan.[1]
Sosiolog juga manusia, mengapresiasi lingkungan sosial di mana mereka berada, memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan dan oleh sebab itu berupaya memahami tindakan mereka.[2]
Perhatian Webber pada teori-teori tindakan berorientasi tujuan dan motivasi pelaku, tidak berarti bahwa ia hanya tertarik pada kelompok kecil, dalam hal ini interaksi spesifik antar individu. Berbeda dengan Marx dan Durkheim yang memandang tugas mereka adalah mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan dalam kehidupan sosial manusia dan lebih mengarah pada fungsionalisme dalam kehidupan masyarakat. Weber tidak sejalan dengan pandangan tersebut.  Namun sama halnya dengan Marx, Weber juga memperhatikan lintasan besar sejarah dan perubahan sosial. Dan yakin bahwa cara terbaik untuk memahami berbagai masyarakat adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan yang menjadi ciri khasnya.
Weber berpendapat bahwa anda bisa membandingkan struktur beberapa masyarakat dengan memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut bertindak, kejadian historis (masa lalu) yang memengaruhi karakter mereka, dan memahami tindakan para pelakunya yang hidup di masa kini, tetapi tidak munngkin menggeneralisasi semua masyarakat atau semua struktur sosial.[3]
Weber memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus(pemacu, penggerak) dengan respon (reaksi).[4] Baginya tugas analisis sosiologi terdiri dari “penafsiran tindakan menurut makna subjektifnya” (Weber, 1921/1968: 8).
Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan reuglaritas tindakan, dan bukan pada kolektivitas.[5]
“Tindakan dalam pegertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa orang manusia individual” (Weber, 1921/1968: 8).

Tipe-tipe Tindakan
                Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan, dan mengklasifikasinya menjadi empat tipe tindakan dasar, yang dibedakan dalam konteks motif para pelakunya:
-          Tindakan Rasionalitas Sarana-Tujuan/Instrumental (beroreintasi tujuan/penggunaan)
Tindakan “yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional” (Weber, 1921/1968: 24).
Ex : Tindakan ini paling efisien untuk mencapai tujuan ini, dan inilah cara terbaik untuk mencapainya.
-          Tindakan Rasionalitas Nilai (berorientasi nilai)
Tindakan “yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya” (Weber, 1921/1968;24-25).
Ex : Yang saya tahu hanya melakukan ini.
-          Tindakan Afektif
Tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Tindakan ini hanya mendapat sedikit perhatian dari Weber.
Ex : Apa boleh buat maka saya lakukan.
-          Tindakan Tradisional
Tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang sudah terbiasa dan lazim dilakukan.
Ex :  Saya melakukan ini karena saya selalu melakukannya.
Dari keempat tindakan itu, tentunya erat kaitannya dalam keseharian masyarakat hingga saat ini. Seperti tindakan tradisional misalnya, dimana kebiasan ini (tindakan) biasa kita lihat karena kebiasaan hidup masyarakat, salah satu contoh bisa kita ambil upacara adat atau kegiatan lainnya yang memang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat.
Jika kita meliat dari tindakan afektif, pelaku/aktor/masyarakat seakan terpaksa melakukan sebuah tindakan, hal ini bisa dilaitkan mungkin dengan tidak adanya pilihan lain yang harus dilakukan atau adanya unsur tekanan dari pihak tertentu sehingga keterpaksaan pun dilakukan.
                Sedangkan pada rasionalitas nilai dan rasionalitas sarana-tujuan, lebih menekankan kepada orientasi yang ada didalam masyarakat, mulai dari nilai hingga tujuan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Tipe-tipe Ketidaksetaraan
Weber tidak mau mereduksi stratifikasi menjadi sekadar faktor ekonomi (atau kelas, menurut pengertian Weber), melainkan melihatnya sebagai sesuatu yang bersifat multidimensional. Masyarakat terstratifikasi menurut basis ekonomi, status dan kekuasaan. (George Ritzer, 2004;138).             Weber menolak konsep Marxis mengenai ketidaksetaraan kelas adalah hal yang terpenting. Baginya analisis komparatif dan historis membuktikan bahwa kelompok status yang mengandung prestis tertentu, dan partai (partai politik) yang memiliki pengaruh politik (partai penguasa) dapat menjadi sumber yang signifikan sebagai anggota kelas.[6]
                Dari beberapa kalimat diatas, ada 3 kata kunci yang sudah dipertebal yakni Kelas, Status dan Partai. Weber mempunyai pendapat mengenai 3 hal ini dan hubungannya dengan ketidaksetaraan. Seperti yang telah dituliskan diatas mengenai status dan partai yang dapat menjadi sumber yang signifikan sebagai anggota kelas. Dimana dari 2 hal tersebut bisa menjadi sumber yang paling utama dalam ketidaksetaraan.
                Berpegang pada konsep orientasi tindakannya, Weber menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang bersama mereka dapat menjadi, dan terkadan sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika tiga syarat terpenuhi:
(1) Sejumlah orang memiliki kesamaan komponen kasual spesifik peluang hidup mereka sama, selama (2) komponen ini hanya direprensentasikan oleh kemungkinan ekonomi berupa penguasaan barang atau peluang untuk memperoleh pendapatan, dan (3) direprensentasikan menurut syarat-syarat komoditas atau pasar tenaga kerja. Inilah “situasi kelas”
(Weber, 1921/1968: 927)
Konsep “kelas” merujuk pada sekelompok orang yang ditemukan pada situasi kelas yang sama (George Ritzer, 2004;138). Kelas bukanlah komunitas, kelas hanya sebuah kelompok yang berada dalam situasi ekonomi atau situasi pasar yang sama.
Weber juga mendefenisikan kelas tidak semata berdasar kepemilikan sarana produksi layaknya Marx, melainkan kepemilikan segala macam kesempatan hidup yang dihasilkan oleh “kekuatan pasar” dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ia mendefinisikannya dalam konteks kapasitas individual untuk meraih hal yang sepadan dalam menjual keahliannya di pasar dalam masyarakat.
Mengenai “situasi status” (status) idefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (Weber, 1921/1968: 932).
Status erat kaitannya dengan gaya hidup, maka tak heran jika menjadi patokan umum mengenai hal ini. Perbedaan antara kelas dengan status yakni, status  terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara kelas terkait dengan produksi ekonomi. (George Ritzer, 2004;138)
Gaya hidup atau status terkait dengan situasi kelas namun kelas tidak terkait satu sama lain: “Uang dan kedudukan kewirausahaan bukan merupakan kualifikasi status, meski keduanya dapat mengarah kepadanya; dan ketiadaan harta benda tidak dengan sendirinya membuat status jadi melorot, meskipun tetap dapat menjadi alasan bagi penurunan tersebut” (Weber, 1921/1968: 306).
Jika kelas hadir dalam tatanan ekonomi, dan kelompok status hadir dalam tatanan sosial, maka partai dapat ditemukan dalam tatanan politik. Bagi Weber, partai “selalu merupakan struktur yang berjuang untuk meraih dominasi” (dikutip dalam Gerth dan Mills, 1958: 195). Partai merupakan elemen yang paling teratur dalam stratifikasi Weber, karena cakupannya yang luas sehingga hal yang dicakup tidak hanya negara namun juga dalam klub sosial. Partai berorientasi pada diraihnya kekuasaan.


[1] Pip Jones, Pengantar Teori Sosial (Jakarta, 2009), hal.114
[2] Ibid
[3] Ibid. hal. 115.
[4] George Ritzer & Douglas J Goodman, (New York, 2004,) hal.136
[5] Ibid. hal. 137
[6] Pip Jones, Pengantar Teori Sosial (Jakarta, 2009), hal.116